blog-indonesia.com

Rabu, 22 Agustus 2012

Saatnya Peneliti dan Industri Bersinergi

Saatnya Peneliti dan Industri Bersinergi
Warsito Purwo Taruno--MI/Sumaryanto/bb
Masa kelam dunia penelitian di Indonesia harus segera diakhiri. Pembentukan konsorsium lembaga peneliti dan industri menjadi setitik cahaya di tengah kegelapan.

"BANYAK hasil penelitian yang dibiarkan menumpuk. Ini yang sering kali membuat peneliti di Indonesia merasa frustrasi," kata Warsito Purwo Taruno.

Pria tersebut ialah pakar tomografi atau seorang inovator teknologi pembasmi sel kanker. Dalam dunia akademisi, ia seorang doktor.

Sudah lama Warsito gundah terhadap nasib peneliti di Indonesia. Hasil riset para peneliti hanya menjadi syarat kelulusan sebuah studi. Kerja keras mereka akhirnya hanya untuk kepentingan akademik dan publikasi ilmiah.

Benang kusut di kalangan peneliti itu sudah menjadi rahasia umum. Banyak hasil penelitian belum termanfaatkan secara optimal baik oleh masyarakat maupun kalangan industri. Kebanyakan periset baik di perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan tidak memiliki jalinan kerja sama yang baik.

Kedua institusi itu juga tidak memiliki koneksi yang bagus dengan kalangan industri. Akibatnya masih sedikit hasil penelitian mereka yang dapat diterapkan di masyarakat.

Pemerintah pun selalu dianggap kurang memberikan andil untuk menggandengkan lembaga litbang dengan industri. Padahal, beberapa program Kementerian Riset dan Teknologi selama lima tahun terakhir difokuskan untuk kepentingan masyarakat.

Citra yang beredar saat ini ialah pasar Indonesia dinilai tidak memiliki cukup banyak produk asli buatan dalam negeri.

Kesenjangan tersebut kemudian dijembatani dengan lahirnya konsep triple helix yang digagas Henry Etzkowitz dari Stanford University, yang juga Presiden The Triple Helix Association. Triple helix merupakan teori yang mengadopsi susunan DNA.

Ia menggambarkan bagaimana hasil riset seharusnya menjadi nilai tambah dan aset bagi negara dengan melakukan sinergi antara akademisi, pelaku usaha (pebisnis), dan pemerintah, atau yang dikenal dengan teori ABG (academician, business, and government).

Persoalan itulah yang menjadi roh konferensi internasional The Triple Helix ke-10, yang digelar di Bandung, Jawa Barat, 8-10 Agustus lalu. Sekitar 300 orang dari 24 negara hadir di situ. Ada juga delegasi dari ASEAN yang di antaranya diwakili menteri atau wakil menteri dari Kamboja, Indonesia, Malaysia, Lao PDR, Vietnam, dan Filipina. Sang empu, Henry Etzkowitz, datang sebagai pembicara kunci dalam konferensi tersebut.

Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta yang membuka konferensi menjelaskan implementasi ABG di Indonesia tidak bisa berjalan apabila tidak melibatkan masyarakat atau society. "Di Indonesia, ABG ini harus ditambah dengan society atau ABG-S. Sekarang hasil riset tidak hanya tiga elemen, tetapi masyarakat harus dilibatkan untuk tahu apa yang mereka inginkan."

Dia menjelaskan implementasi ABG-S di Indonesia telah diejawantahkan lewat beberapa program, antara lain Sistem Inovasi Nasional (Sinas), pemberian pelatihan dan beasiswa, pertukaran para periset atau ilmuwan dengan negara lain, juga pendirian wadah business information center (BIC) dan business technology center (BTC).

 Bentuk konsorsium

Dua program terakhir menjadi wadah bertemunya para periset, hasil riset mereka, dan pengusaha. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi, menjadi fasilitator.

"BTC dan BIC ini menjadi jembatan hasil riset menuju inovasi yang dibutuhkan industri dan masyarakat. Implementasi ABG-S ini sudah dilaksanakan di Indonesia," tegas Gusti.

Ia berharap sinergi para aktor ABG-S bisa berhasil sehingga hasil inovasi yang diproduksi akan terus bertambah. Selain Sistem Inovasi Nasional, Kemenristek tengah menggalakkan dan mendorong daerah untuk melakukan hal serupa dengan difasilitasi Sistem Inovasi Daerah (Sida).

Gusti menyebutkan, sejak Mei 2011, program Sida telah berkorelasi dengan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang digulirkan pemerintah. "Terutama pada pilar ketiga, yakni penyediaan sumber daya iptek di seluruh Indonesia," tambah Gusti.

Deputi Jaringan Iptek Kemenristek Amin Soebandrio menambahkan sudah saatnya perguruan tinggi, industri, dan pemerintah bekerja sama untuk mewujudkan inovasi yang diinginkan masyarakat. "Tentu saja inovasi yang diinginkan adalah yang disukai masyarakat dan laku dipakai industri."

Konferensi Triple Helix dengan Indonesia sebagai tuan rumah, Amin mengatakan, merupakan wadah yang memberikan kesempatan bagus bagi para peneliti untuk bisa berbagi informasi sekaligus menjadi media pembelajaran dari negara lain. Pemerintah dituntut bisa memberikan iklim yang mendukung kemajuan inovasi nasional melalui peraturan yang berpihak pada pengembangan iptek.

"Di Indonesia mengapa perlu society, selain konsep ABG? Karena di sinilah masyarakat dilibatkan agar mulai mencintai produksi dalam negeri," jelasnya.

Dukungan untuk hasil riset para peneliti melalui program Sinas bisa diwujudkan melalui konsorsium. Saat ini sejumlah inovasi unggulan seperti pengadaan vaksin dengue dan tuberkulosis dikerjakan melalui konsorsium yang terdiri dari para peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, serta Bio Farma.

Vaksin lain, yakni hepatitis B, sedang digarap konsorsium yang terdiri dari Lembaga Eijkman, Universitas Al Azhar Jakarta, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta PT Bio Farma. Inovasi lain berupa pembuatan teknologi sinyal kereta api berbasiskan komputer dikerjakan PT Lembaga Elektronika Nasional Kemenristek, Kementerian Perhubungan, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh November, dan BPPT. Ada juga konsorsium yang mengurusi soal pangan, transportasi, pertahanan, dan keamanan.

Amin menyebutkan, bila di masa lalu riset dasar mendominasi hampir 60% dan terapan 40%, pada tahun-tahun berikutnya akan dibalik. Riset terapan harus mencapai 60% agar sejalan dengan implementasi ABG-S. Sisanya adalah riset dasar.

Presiden The Triple Helix Association Henry Etzkowitz tak mau menafikan pentingnya Indonesia. Ia menyebut negeri ini terpilih sebagai tuan rumah karena sedang menggeliat di bidang litbang.

"Modal lain yang tidak kalah penting ialah ini negara demokrasi. Pada umumnya kreativitas masyarakat di negara demokrasi cukup tinggi dan Indonesia memiliki peran strategis di sini," tutur Henry.

Ia mengakui Indonesia bersama Brasil, Rusia, India, dan China memiliki peran penting dalam perubahan ekonomi global yang berbasis pada ABG, plus society. (N-2)

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More