blog-indonesia.com

Kamis, 30 Mei 2013

E-Ticketing, Era Baru KRL Jabodetabek

Sistem ini diklaim membuat harga tiket mengalami penurunan.

Para pengguna Commuter Line akan memasuki era baru perkerataapian. Nantinya penumpang KRL tidak lagi membeli tiket kertas seperti yang selama ini digunakan. Kini akan lebih praktis dengan tiket elektronik (e-ticketing).

Manajer Komunikasi PT Kereta Api Commuter Jabodetabek (KCJ), Eva Chairunisa, mengatakan tiket elektronik diterapkan secara menyeluruh pada Juni 2013. "Tapi saya belum tahu tanggal pastinya," kata Eva saat dihubungi VIVAnews, Rabu, 29 Mei 2013.

Menurut dia, persiapan sudah mencapai 90 persen. Sebanyak 323 perangkat gate elektronik untuk pintu masuk dan pintu keluar sudah terpasang di 63 stasiun di Jabodetabek. Begitu juga 462 perangkat otomatisasi pada loket. Saat ini petugas masih melengkapi peralatan pendukung di tiap stasiun.

Tiket elektronik juga diberlakukan untuk KRL Ekonomi. Kartu elektronik untuk penumpang KRL Ekonomi dicetak berwarna hijau, sedangkan Commuter Line berwarna merah.

Untuk menerapkan sistem ini PT KCJ sudah melakukan sosialisasi kepada para pengguna. Uji coba dengan penjualan e-ticketing sudah berlangsung di lintas Tangerang pada 8 April 2013. Selanjutnya 22 April 2013 di lintas Jakarta Kota-Depok dan di jalur lingkar pada 2 Mei 2013 lalu. "Sekarang fokus kami adalah mengajari penumpang dengan sistem baru ini," ucapnya.

Bagaimana cara memakainya? Pengguna jasa KRL mendatangi loket tiket dan mengatakan stasiun tujuannya kepada petugas loket. Setelah itu, petugas akan menyebutkan harga yang harus dibayar oleh penumpang.

Selanjutnya, kartu akan keluar dari dispenser dan dibawa oleh pengguna. Setelah mendapatkan kartu, penumpang menuju gate in untuk bisa masuk ke peron. Pengguna memasukkan kartu ke alat gate in dan tunggu sampai lampu berwarna hijau. Kemudian, kartu dibawa kembali untuk verifikasi di pintu keluar kereta.

Ketika sampai di stasiun tujuan, pengguna KRL menuju gate out dan memasukkan kartu tersebut ke dalam gate sampai lampu di alat tersebut menyala berwarna hijau. Pengguna jasa bisa keluar peron, sedangkan kartu tiket tersebut tertelan ke dalam alat di gate.

Salah satu keuntungan e-ticketing adalah penumpang yang terlewat dari stasiun tujuan bisa menunggu kereta selanjutnya supaya bisa kembali ke stasiun tujuan awal tanpa harus membeli tiket lagi. "Itu bisa dilakukan karena kami meletakkan gate out di luar peron, bukan di peron," kata Eva. $ Penumpang yang terlewat stasiun tujuan juga tidak bisa keluar di peron di stasiun selanjutnya. 

Tiket elektronik diyakini bisa lebih menertibkan penumpang karena kartu hanya bisa digunakan sekali pakai. Jadi sekali deteksi, kalau sudah ditempel tidak bisa ditempel lagi. Penumpang diperbolehkan keluar peron hanya satu kali dengan batas waktu 30 menit.

Jika e-ticketing berjalan lancar, maka langsung diikuti dengan pemberlakuan sistem pembayaran tarif progresif. Dengan sistem progresif ini, tarif yang dikenakan kepada penumpang akan berdasarkan jumlah stasiun yang dilewati. Pada lima stasiun pertama penumpang akan dikenakan biaya Rp 3.000, dan Rp 1.000 untuk setiap tiga stasiun berikutnya.

Sistem tarif ini diklaim akan membuat sebagian besar harga tiket mengalami penurunan. Misalnya, dari Stasiun Jakarta Kota ke Cikini melewati enam stasiun. Bila dulu harus bayar Rp 7.500, kini hanya Rp 4.000. Sedangkan untuk jalur jarak jauh, tarif tidak mengalami perubahan.

Tarif tertinggi mengacu untuk relasi terjauh yang ditetapkan sejak 1 Oktober 2012, yakni Rp 9.000. "Tarif progresif hanya berlaku bagi Commuter Line, tidak untuk kereta ekonomi," ujar dia.

Penolakan di Stasiun

Direktur Utama PT KCJ, Tri Handoyo, menegaskan tiket elektronik tidak bisa berjalan jika area stasiun belum steril. Dia mengatakan seluruh stasiun di Jabodetabek sudah steril dari pedagang, kecuali Stasiun Universitas Indonesia, Depok.

Sebab, kata dia, mahasiswa UI terus mempertahankan keberadaan pedagang di dalam stasiun. Karena itu, PT KCJ dan PT Kereta Api melakukan penertiban pedagang di Stasiun UI pada Rabu pagi. Tapi, penataan ulang di stasiun itu tetap mendapat penolakan.

Pembongkaran puluhan kios di sekitar Stasiun UI akhirnya berujung ricuh. Ratusan pemilik kios dan mahasiswa terlibat adu jotos dengan aparat gabungan. Massa yang menolak pembongkaran kios itu juga melempari aparat gabungan yang terdiri dari polres, Brimob, dan Polda Metro Jaya, dengan sejumlah benda.

Ricuh ini dipicu saat ratusan aparat bersenjata merangsek masuk dan mendorong barisan pengunjuk rasa yang bertahan di lorong kios Stasiun UI. Massa yang tak terima sempat melakukan perlawanan. Alhasil aksi saling dorong hingga berujung adu jotos pun tak dapat dihindari. Kericuhan baru mereda, setelah aparat berhasil mendorong mundur para pengunjuk rasa. 

Seorang pedagang bernama Teti Rohati (35 tahun) jatuh pingsan melihat kiosnya dibongkar. Wanita berkerudung itu pingsan sesaat setelah menaruh rangkaian bunga ke pihak PT Kereta Api. Awalnya, Teti yang tampak tak kuasa menahan sedih ini terlihat tegar saat mengikuti aksi orasi mahasiswa. Namun tiba-tiba setelah dirinya menyerahkan bunga, tiba-tiba Teti jatuh. Sontak insiden ini sempat membuat panik orang di sekitarnya.

"Dia sedih dari tadi pagi. Tidak kuat melihat kiosnya dibongkar. Teti sudh lebih dari lima tahun dagang aksesoris komputer di sini. Ya sedih banget, kasihan dia," ucap Lisa kawan Teti.

Menjelang siang petugas akhirnya berhasil meratakan seluruh kios di Stasiun UI. Para pedagang hanya bisa meratap pasrah saat ratusan petugas membongkar kios yang selama ini jadi tempat mereka mencari nafkah.

Pengawasan di Lapangan

Rencana penerapan sistem pembayaran tarif progresif dengan menggunakan tiket elektronik ini disambut baik oleh para penumpang. Komunitas pengguna kereta api Jabodetabek, KRL Mania mendukung penuh sistem baru ini.

Juru Bicara KRL Mania, Ariyo Nugroho, mengatakan tarif progresif itu lebih adil. Karena, kata dia, bepergian jarak dekat membayar lebih sedikit dari pada yang jaraknya lebih jauh. "Apalagi tarif maksimalnya tidak lebih mahal dari tarif sekarang," kata Ariyo. "Tiket elektronik bagus, mengeliminir human error."

Menurut dia, sekarang yang penting adalah pengawasan di lapangan. Terutama jika terjadi hal-hal di luar skenario. Misalnya, ada gangguan sehingga penumpang tidak bisa turun di stasiun tujuan. Jangan sampai penumpang kena denda.

Atau jika ada gangguan sehingga kereta tidak bisa berjalan sama sekali, padahal penumpang sudah beli tiket. "Mekanisme refund-nya bagaimana," ujar dia.

Meski demikian, KRL Mania tidak setuju langkah PT Kereta Api menertibkan kios-kios di stasiun. Menurutnya, pedagang yang ada di peron memang harus ditertibkan karena itu mengganggu pergerakan dan berbahaya. "Tapi kalau yang di kios masalahnya apa? Kalau mau dirapikan ya tolong lakukan dengan cara yang sopan jangan bawa-bawa aparat, apalagi marinir, itu penyalahgunaan," kata Ariyo.

KRL Mania juga menyarankan sterilisasi sebagai persyaratan e-ticketing. Tapi arti sterilisasi di sini adalah mencegah orang-orang tak berkepentingan untuk masuk ke stasiun.

Jadi pintu-pintu liar memang harus ditutup. Dia menilai keberadaan kios tidak mengganggu karena penumpang juga butuh beli minum dan makanan kecil. Apalagi saat menunggu kereta yang sedang mengalami gangguan. "Di Jepang juga banyak kios di dalam peron. Asal PT KA bisa menerapkan standar mutu, seharusnya no problem," ucapnya.


  Vivanews  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More