blog-indonesia.com

Kamis, 19 September 2013

Wacana Pemindahan Ibukota

Lagu Lama Pemindahan Ibukota 

http://images.detik.com/content/2013/09/18/4/095544_jakartamacet.jpgJakarta - Agus Hendrianto antusias ketika wacana pemindahan ibukota ke daerah lain kembali dicetuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Rusia, beberapa hari lalu. Manager sebuah perusahaan Jepang yang berkantor di Karawang ini bilang, Jakarta sudah terlalu sumpek.

"Perusahaan kami sering ke pelabuhan Tanjung Priok untuk mengirim atau mengambil barang. Macetnya luar biasa," kata Agus, yang ditemui di Jakarta, kemarin. “Pengalaman kami di perusahaan kalau ada urusan ke Tanjung Priok bisa bikin stres.”

Agus bilang, wacana pemindahan ibukota pernah didengarnya ketika Presiden Soeharto masih berkuasa. Saat itu, kata dia, ada rencana pemindahan ke daerah Jonggol, Jawa Barat. “Tapi Pak Harto keburu lengser,” kata pria 45 tahun ini, sambil tertawa.

Menurut Agus, Jakarta boleh tetap menjadi kota bisnis seperti New York. Sedangkan pusat pemerintahan sebaiknya dipindahkan ke luar. Dia bilang, di luar Jawa juga tak masalah supaya terjadi pemerataan pembangunan.

Di sela-sela pertemuan G20 di Rusia, beberapa hari lalu, Presiden Yudhoyono mengatakan sudah membentuk tim kecil untuk mendukung rencana pemindahan ibukota. “Pusat perekonomian tetap di Jakarta, tapi pusat pemerintahan di kota lain,” ujarnya.

Sebelumnya pada 2009 Yudhoyono pernah mengatakan bahwa Palangkaraya adalah salah satu opsi ibukota baru yang sudah diwacanakan sejak Orde Lama.

Sejumlah pejabat pemerintahan sepakat dengan ide pemindahan ibukota. Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum, mengatakan beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi sudah terlampau berat. Apalagi sekitar 40 persen tanah Jakarta berada di bawah permukaan laut.

Menurut Djoko, bisa saja yang dipindah hanya pusat pemerintahan sementara Jakarta masih menjadi ibukota negara. Langkah ini sudah dilakukan Malaysia. “Jadi aktivitas pemerintahan di Putra Jaya, sedagkan pusat industri, perdagangan, dan ekonomi tetap di Kuala Lumpur," katanya.

Dahlan Iskan, Menteri BUMN, juga sepakat dengan wacana ini. “Tapi di mana saya tidak tahu. Saya tidak ahli planologi," ujarnya. Dia bilang, wacana ini perlu dijaga sampai pergantian pemerintahan.

Juniman, Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia, mengatakan pemindahan ibukota memang sudah mendesak. Soalnya kemacetan sudah tidak mengenal jam dan waktu, udara dan air yang kotor, sampai tata kota yang sulit karena penduduk membeludak.

Juniman berpendapat ada beberapa hal positif yang bisa diraih dengan pemindahan ibukota. Pertama, ekonomi lebih efisien. Saat ini, kemacetan membuat penduduk Jakarta membuang Rp 15-25 triliun per tahun di jalanan. “Kalau setidaknya pusat pemerintahan yang dipindahkan, maka bisa mengurangi beban kemacetan karena puluhan ribu orang tidak lagi lalu lalang di Jakarta. Iniefisiensi bisa berkurang,” kata Juniman, di Jakarta kemarin.

Kedua, mendukung tata lingkungan di Jakarta karena masalah tanah, air, dan udara Jakarta sudah semakin buruk. Jika bebannya dikurangi, maka lingkungan di Jakarta bisa lebih normal.

Namun memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memindahkan ibukota. Juniman mengatakan, pertama adalah kedekatannya dengan pusat bisnis. Jika terlalu jauh, biaya perizinan bisa meningkat.

Kedua adalah masalah biaya. Juniman memperkirakan pemindahan ibukota membutuhkan anggaran setidaknya Rp 100 triliun. “Dengan anggaran subsidi yang masih begitu besar, fiscal space yang tersedia bisa tidak cukup untuk mendukung rencana ini,” ujarnya.

Menurut Juniman, pemindahan ibukota tak bisa dilakukan secara instan. Jika dilakukan mulai 2014, dia memperkirakan butuh waktu lima tahun agar ibukota benar-benar siap dipindahkan dari Jakarta.

Sri Adiningsih, Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada, menilai Jakarta sudah kesulitan menjalankan fungsi sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi sekaligus. “Akibatnya kondisi kota menjadi semakin parah,” tegasnya.

Tapi, menurut Adiningsih, pemindahan ibukota harus dilakukan bertahap, perlu masa transisi. Selain butuh biaya besar, pemindahan ibukota tidak hanya memindahkan kantor tetapi juga pegawai dan berbagai fasilitas lain.

Belajar dari Batavia dan Bandung
 

http://images.detik.com/content/2013/09/18/4/115046_lansekapbandung1920.jpg
Lansekap Bandung pada 1920-1930 (foto: bandungsae.com)

Semarang, menjelang 1920. Begitu menghirup udara pegunungan, H. F. Tillema langung 'jatuh cinta' pada kota Bandung. Pada penelitiannya kemudian, dia mengusulkan ibu kota dipindahkan ke kota yang diapit pegunungan itu.

“Kota-kota pelabuhan di pantai Jawa sudah terasa panas dan semangat pekerja turun karena cepat lelah,” kata pakar kesehatan lingkungan itu dalam rekomendasinya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J. P. Graaf van Limburg Stirum.

Tillema mengingatkan soal Inggris yang pernah memindahkan ibu kota daerah koloni India, dari Kalkuta ke New Delhi di pedalaman. Usulan Tillema disambut J. Klopper, rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung).

Bandung sendiri sedang tumbuh menjadi kota yang ramai sejak Belanda membangun jalan raya Pos dari Anyer ke Panarukan. Sebelumnya, pada 1810 H. W. Daendels sudah memerintahkan pemindahan ibu kota Bandung dari Krapyak ke tepi jalan raya Pos.

Pemindahan ibu kota Hindia Belanda pun dieksekusi menjelang 1920, diawali perpindahan kantor Jawatan Kereta Api Negara, Pos dan Tilpon, Departement van Geovernements Bedrijven (GB) yang membawahi Dinas Pekerjaan Umum. GB menempati Gedung Sate yang dibangun dengan biaya 6 juta Gulden dan dirancang oleh arsitek J. Gerber.

Lalu diikuti oleh perpindahan sebagian Departemen Perdagangan dari Bogor, Kantor Keuangan, dan Lembaga Cacar yang bergabung dengan Institut Pasteur. Kementerian Pertahanan (Departement van Oorlog) sendiri sudah secara bertahap sudah memindahkan personilnya sejak 1916. Sebelumnya, mulai 1898 pabrik mesiu di Ngawi dan pabrik senjata atau Artillerie Constructie Winhel dari Surabaya sudah terlebih dahulu pindah.

Secara keseluruhan, perpindahan kantor-kantor ini selesai pada 1920. 

Pindah Saja Biar Ekonomi Merata

Sebagai ibu kota, Jakarta memang punya segalanya terutama kue ekonomi nasional. Menurut data Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit ke Jakarta per Juli 2013 mencapai Rp 997,06 triliun rupiah atau yang tertinggi di Indonesia.

Jawa Barat, yang menempati peringkat kedua, “hanya” memperoleh penyaluran kredit sebesar Rp 387,38 triliun.

Penyaluran kredit berhubungan dengan aktivitas ekonomi yang memang begitu terpusat di Jakarta. Pada kuartal II-2013, pulau Jawa menyumbang 58,15 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional yang berjumlah Rp 2.210,1 triliun. Di pulau Jawa sendiri, Jakarta memiliki porsi tertinggi yaitu 16,5 persen.

Tak heran kalau salah satu motif pemindahan ibu kota adalah untuk pemerataan ekonomi. “Jika ibu kota dipindah ke Kalimantan atau daerah lain, maka akan tercipta kegiatan ekonomi dan peluang investasi di sana. Pembangunan tidak lagi terpusat di Jakarta,” kata Juniman, Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia, di Jakarta kemarin.

Lalu kota mana yang potensial untuk menjadi ibu kota baru? Juniman bilang daerah di sekitar Karawang (Jawa Barat) layak dipertimbangkan. Biaya pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah Karawang bisa dihemat karena lokasinya tidak terlalu jauh.

“Masih ada space yang cukup luas untuk menampung aktivitas pemerintahan. Infrastrukturnya juga sudah siap, belum lagi ada rencana pembangunan bandara di sana,” ucap Juniman.

Jika di luar Jawa, Palangkaraya adalah opsi terbaik. Kota ini, kata Juniman, berada di tengah-tengah wilayah kedaulatan Indonesia sehingga bisa menjadi simbol negara. Tapi ongkos yang diperlukan untuk pemindahan sampai ke luar Pulau Jawa sangat mahal.

“Kemudian jika pusat bisnis masih di Jakarta maka proses perizinan menjadi sulit karena lokasinya berjauhan, ada masalah inefisiensi,” tutur Juniman. “Pulau Jawa yang paling memungkinkan.”

Sri Adiningsih, Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada, berpendapat sebaliknya. Untuk mendukung pemerataan pembangunan, Adiningsih berpendapat sebaiknya ibu kota berada di luar Jawa tetapi bisa menjangkau seluruh wilayah dengan relatif mudah. “Kalau masih di Jawa, ya konsentrasi pembangunan terus di Jawa saja,” ujarnya.

Lokasi baru itu, kata dia, secara geopolitik harus mencerminkan Indonesia. Kemudian harus strategis, aman, tidak ada ancaman bencana alam, serta didukung secara budaya dan politik. “Jakarta masih bisa menjadi pusat bisnis karena sulit untuk memindah begitu banyak perusahaan,” kata Adiningsih.(DES/DES)

Ibu Kota akan Dipindah, Apa Kata Ciputra? 

http://images.detik.com/content/2013/09/18/4/135737_proyekjakarta.jpgPemerintah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta. Sejumlah ekonom pun sepakat dengan wacana itu. Tapi pengusaha kondang Ciputra berpendapat sebaliknya.

Pebisnis properti kelas wahid ini menilai pemindahan ibu kota hanyalah solusi instan bagi permasalahan di Jakarta. Menurutnya, masalah Jakarta seperti macet dan banjir bisa diatasi dengan upaya ekstra dari pemerintah.

Ciputra memberi contoh penanganan banjir. Dia berpendapat pembangunan terowongan raksasa (deep tunnel) dapat menjadi solusi. Biayanya pun hampir sebanding dengan pemindahan ibu kota.

“Memperbaiki Jakarta sebagai ibu kota adalah prioritas terpenting. Pada 2030, Indonesia menjadi kota pelabuhan besar dunia. Kita harus all out agar Jakarta jadi kota modern," tegas Ciputra, di Jakarta kemarin.

Sikap ini berbeda dengan pengusaha lain. Contohnya adalah Darmono, Direktur Utama PT Jababeka.

"Pemindahan ibu kota harus segera. Macetnya di Jakarta sudah luar biasa," keluh Darmono, Direktur Utama PT Jababeka. Sebagai pengembang kawasan industri, Jababeka tentu mengetahui bagaimana kemacetan Jakarta telah menggerus efisiensi arus barang.

Agar bisa cepat dieksekusi, Darmono mengusulkan ibu kota dipindah ke daerah yang sudah siap. “Kita tidak punya waktu untuk membuat kota baru, harus memindahkan ke kota yang sudah siap. Salah satunya bisa Yogyakarta," katanya, di Jakarta kemarin.

Yogyakarta, lanjut Darmono, memiliki infrastruktur yang cukup lengkap. Selain itu, Yogyakarta memiliki pengalaman menjadi ibu kota negara pada 1949.

Suryo Bambang Sulisto, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, juga menilai rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta sudah tepat. Langkah tersebut bisa mengurangi kepadatan di Jakarta yang semakin tinggi.

“Sekarang Jakarta sudah semakin tidak layak untuk bisnis, terutama karena macetnya. Dunia usaha merasakan betul adanya kerugian akibat kehilangan waktu dan produktivitas karena macet. Opportunity lost-nya kalau dihitung bisa sampai triliunan rupiah,” tegas Suryo.

Untuk ibu kota yang baru nantinya, Suryo berharap tetap ramah terhadap dunia usaha. “Akses dan infrastrukturnya harus tersedia. Ini juga harus dipikirkan,” katanya.

Suryo berharap nantinya ibu kota dipindah tidak terlalu jauh dari Jakarta yang masih menjadi pusat bisnis. Kalau jaraknya sekitar 100 kilometer dari Jakarta masih bisa ditoleransi supaya biaya juga tidak terlalu mahal.

Tapi Suryo tak setuju jika ibu kota dipindah ke luar Jawa. Selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dunia usaha juga harus berhubungan dengan pemerintah. “Kalau harus bolak-balik jarak jauh, sepertinya kurang pas,” tuturnya.

Relokasi Ibu Kota? Begini Cara Di Negeri Lain

Pemindahan ibu kota sudah terjadi sejak zaman Mesir, Romawi, dan China kuno. Berbagai macam alasannya. Ada yang demi mempertahankan kedaulatan, memeratakan pembangunan, atau demi netralitas di wilayah yang multietnik atau religi.

Dalam sejarah dunia, sejumlah negara, baik besar maupun kecil, pernah melakukan pemindahan ibu kota negaranya. Mana yang akan ditiru Indonesia?


Rencana Pindah Ibu Kota, Hatta: Belum Konkret

http://images.detik.com/content/2013/09/18/4/dlm.jpgWacana pemindahan ibu kota dari Jakarta terus mengemuka dalam beberapa waktu terakhir setelah disebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala berkunjung ke Rusia. Menurut Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, sampai saat ini belum ada langkah konkret dari pemerintah seputar ide tersebut.

"Ini sesuatu yang belum konkret. Kalau sudah konkret itu kan ada anggarannya," ujar Hatta.

Meski demikian, Hatta sepakat dengan wacana pemindahan ibu kota. "Menurut saya bagus itu, tapi rakyat kita maunya apa didengarkan. Jangan maunya pejabat, tapi rakyat didengarkan semuanya," katanya.

Hatta berpendapat bahwa ada baiknya yang dipindah hanya pusat pemerintahan sementara Jakarta tetap menjadi ibu kota dan sentra bisnis. Hal ini serupa dengan yang dilakukan Malaysia.

"Saya sendiri belum tahu sejauh mana. Tapi kalau di pikiran saya itu mungkin ibu kota biarlah di Jakarta. Pusat pemerintahan mungkin boleh lah, seperti misalkan Malaysia pusat pemerintahannya di Putra Jaya ibu kotanya ya Kuala Lumpur," kata Hatta.

Selain Hatta, sejumlah menteri sebelumnya sudah buka mengenai ide pemindahan ibu kota. Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum, berpendapat senada dengan Hatta yaitu yang dipindah hanya pusat pemerintahan sementara ibu kota tetap di Jakarta.

Sedangkan Dahlan Iskan, Menteri BUMN, juga sepakat dengan wacana pemindahan ibu kota. Dia juga berpesan wacana ini tidak hilang setelah pemerintahan berganti pasca Pemilu 2014.

"Jangan sampai sekarang pemerintahnya punya ide seperti itu, tapi pemerintah berikutnya tidak. Biar beban Jakarta tidak semakin berat,” tegas Dahlan.


  detik 

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More