Purwakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan Hokkaido University melakukan riset pengembangan teknologi model ukur gerakan air untuk waduk secara "real time".

"Pentingnya pengembangan teknologi `real time` seperti ini karena sewaktu-waktu (dalam 24 jam) kita dapat mengetahui kondisi air tanpa perlu harus ke lapangan," kata peneliti utama bidang gambut pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bambang Setiadi di Purwakarta, Senin.

Teknologi model ukur bersama Sensory Data Transmission Service Assisted by Midori Engineering atau Sesame yang saat ini diterapkan di Waduk Jatiluhur, menurut dia, menjadi "pilot project" untuk pengukuran air waduk secara "real time".

Sesame, lanjutnya, sebelumnya telah dicoba di Kalimantan, Riau, dan Jawa Timur dan semua berkaitan untuk mengukur gerakan permukaan air termasuk air lahan gambut.

Ia mengatakan awalnya riset teknologi model ukur gerakan air tersebut ditujukan untuk lahan gambut terkait emisi karbon. Ternyata teknik pengukuran tersebut dapat dengan mudah diterapkan untuk mengetahui kondisi air Sungai Kahayan.

"Karena sukses, kenapa tidak diterapkan ke waduk mengingat kebutuhan air minum, pertanian, perikanan, listrik juga bergantung dengan waduk," ujar dia.

BPPT yang melakukan riset bersama Hokkaido University dan didukung oleh JICA untuk menginstal Sesame di Waduk Jatiluhur hingga bulan Maret 2014 tersebut penerapannya bekerja sama juga dengan PT Jasa Tirta II.

Sementara itu, CEO Head Director Midrori Engineering Laboratory Co Ltd, Yukihisa Shigenaga mengatakan teknologi Sesame yang saat ini dipasang di Waduk Jatiluhur disambungkan dengan sensor air, sensor hujan, dan sensor temperatur.

Informasi terkait ketinggian air, curah hujan, dan temperatur di Waduk Jatiluhur dikumpulkan setiap 10 menit, dan akan dikirimkan setiap satu jam sekali langsung ke server yang berada di Midrori Engineering Laboratory, Hokkaido, sebelum ditransfer kembali ke Indonesia.

"Tapi kapan Sesame akan mengumpulkan data dapat disetting kembali, dan pengiriman laporannya pun juga dapat disetting kembali," kata Yukihisa.

Sistem Sesame ini, menurut dia, dapat juga ditambahkan dengan jenis sensor lain. Dan terdapat dua cara yang telah dipikirkan untuk mentransfer data, pertama dengan satelit dan kedua dengan cara estafet bernama sistem AdHoc.

"Cara AdHoc ini yakni mengumpulkan data dulu dan mengirimkan ke tempat yang ada koneksi transmisi, baru setelahnya dikirimkan ke server di Hokkaido. Jika sudah terkirim maka setiap orang yang telah teregistrasi alamat emailnya dapat menerima laporan saat itu juga terkait kondisi waduk," ujar dia.

Menurut dia, pembuatan satu Sesame yang terdiri dari sensor air dan sensor hujan lengkap solar panel yang dapat menyimpan 10 watt listrik untuk menjalankan teknologi model ukur air tersebut menghabiskan dana sekitar Rp50 juta.

Semua bahan baku untuk memproduksi Sesame dapat diperoleh di Indonesia. "Bahkan kami berharap ini dapat diproduksi dengan konten lokal yang berkualitas. Hanya saja cara perakitannya alat tersebut atau alih teknologi baru akan dilakukan secara bertahap," ujar dia.(V002/Z003)