blog-indonesia.com

Kamis, 16 Januari 2014

Ekspor Mineral Mentah Dilarang

 Ketika 'Tanah Air' Dijual Ke Luar Negeri 

http://images.detik.com/content/2014/01/15/1034/101611_tambang1.jpgJakarta Pemerintah akhirnya menerapkan pelarangan ekspor mineral mentah (ore) mulai 12 Januari 2014 lalu. Ekspor hanya diizinkan jika mineral tersebut sudah diolah di dalam negeri, untuk memberi nilai tambah pada perekonomian.

Selama ini, Indonesia banyak mengekspor kerukan tanah dan kemudian di luar negeri akan dicari mineral yang terkandung di dalamnya. Dalam kata lain, “Kita benar-benar mengekspor tanah air, ya tanahnya betul,” kata Bambang Brodjonegoro, Wakil Menteri Keuangan.

Menurut Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, selama ini puluhan juta ton tanah Indonesia diekspor begitu saja ke luar negeri. “Ekspornya berupa tanah gelondongan, hanya sekitar dua persen saja yang bauksit. Sisanya tanah dan macam-macam,” katanya.

Oleh karena itu, Indonesia tidak menerima nilai tambah atas kekayaan alamnya sendiri. “Kita negara yang kaya, tetapi tanah kita dilempar ke negara lain dengan harga rendah. Jadi akan lebih bermartabat kalau kita ekspor sesuatu yang diolah,” papar Bambang.

Dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba), sudah ada ketentuan bahwa mulai 2014 tidak boleh lagi ada ekspor mineral ore. “UU harus dijalankan secara konsisten,” ucap Hatta.

Pemerintah telah merilis aturan pelaksanaan Undang-Undang Minerba, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, yang salah satunya mengatur larangan ekspor mineral ore. Helmi Arman, ekonom Citi Research, menilai aturan ini masih harus dilengkapi aturan di lingkup kementerian agar bisa berjalan di lapangan.

Dampak dari aturan ini, lanjut Helmi, diperkirakan tidak terlalu signifikan. “Kami berpendapat ekspor mineral ore yang sebilai US$ 6 miliar per tahun tidak akan terpengaruh besar pada 2014,” ujarnya. Setidaknya ada dua hal yang menurut Helmi menyebabkan ekspor tetap bisa berjalan. Pertama adalah pemerintah tetap mengizinkan ekspor mineral konsentrat. Mineral yang sudah mendapat sentuhan nilai tambah meskipun masih dalam tahap awal pun bisa diekspor.

“Ekspor mineral Indonesia baik mentah maupun konsentrat terdiri dari 41 persen tembaga, 27 persen nikel, 23 persen aluminum, dan 7 persen besi, dan sisanya lain-lain. Untuk tembaga, kebanyakan dilakukan oleh perusahaan Amerika Serikat yang umumnya mereka sudah mengekspor dalam bentuk konsentrat. Jadi, ekspor masih bisa berlangsung,” papar Helmi.

Namun, ekspor konsentrat hanya diizinkan sampai 2017. Setelah 2017 seluruh mineral yang diekspor harus dimurnikan 100 persen.

Faktor kedua adalah perusahaan yang sudah berencana untuk memproses mineral di dalam negeri masih diperbolehkan mengekspor. “Di dalamnya terdapat sekitar 60 perusahaan. Masih ada porsi ekspor seperti nikel dan bauksit dalam jumlah yang memadai,” kata Helmi.

Namun, Helmi menggarisbawahi bahwa ada sejumlah faktor yang membuat pelaksanaan aturan ini agak sulit di lapangan. “Finalisasinya dilakukan sesaat menjelang pemberlakuan, apakah sudah tersosialisasikan kepada para stakeholders? Kami juga perkirakan bahwa perusahaan yang akan ekspor harus punya izin, dan mengurusnya tentu butuh waktu,” paparnya.

 China: Tenang, Kami Sudah 'Menimbun'  

Indonesia merupakan salah satu pengekspor barang mineral terbesar di dunia. China menjadi salah satu negara yang banyak mengimpor barang mineral mentah asal Indonesia.

MS Hidayat, Menteri Perindustrian, mengaku pernah melihat tumpukan bauksit asal Indonesia di China. “Saya ke China dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri ada tumpukan tiga juta ton di pantai. Bauksit, semuanya tumpukan ekspor bahan mentah dari Indonesia," katanya di Jakarta baru-baru ini.

Selain bauksit, Hidayat juga menyebutkan ada 27 juta ton nikel asal Indonesia. “Tanah saja yang digali, lalu dikirim ke sana,” ujarnya.

Lalu bagaimana jika Indonesia tak lagi mengekspor bahan tambang mentah ke China? Fitch Ratings dalam risetnya menyatakan bahwa dampak terhadap industri mineral di negeri Tirai Bambu, terutama bagi produsen aluminium yang menggunakan bauksit sebagai bahan baku, tidak terlalu signifikan.

“Para produsen aluminium sudah memupuk stok yang bisa bertahan untuk satu tahun. Mereka juga mulai mengubah kebijakan untuk tidak lagi terlalu tergantung terhadap pasokan dari Indonesia,” sebut riset Fitch.

Selama ini, lanjut riset Fitch, sekitar seperlima produksi aluminium China menggunakan bauksit yang diimpor dari Indonesia. Tahun lalu, impor bauksit ke China tumbuh sekitar 80 persen dan itu meningkatkan produksi aluminium 18-20 persen.

Perusahaan-perusahaan China, tambah riset Fitch, juga sudah mengantisipasi penerapan larangan ekspor mineral mentah sejak Undang-Undang Mineral dan Batubara diteken pada 2009. Mereka sudah mendiversifikasi negara tempat mengimpor mineral.

“Mereka mengamankan pasokan dari berbagai negara seperti Australia, India, atau Papua Nugini. Mereka juga berupaya untuk membangun refinery dan smelter di Indonesia, agar bisa tetap mengekspor,” kata laporan Fitch.

Meski demikian, Fitch menilai tetap ada dampak negatif dalam jangka pendek. “Mungkin saja ada masalah dalam pasokan sehingga menaikkan biaya produksi aluminium secara temporer. Namun ini tidak berdampak signifikan terhadap harga aluminium global dan produksi juga tetap akan surplus pada 2014,” jelas riset tersebut.(hds/DES)

 Asosiasi Pengusaha: Ekspor Masih Perlulah  

http://images.detik.com/content/2014/01/15/1034/141252_tambang2.jpgPemerintah telah mengeluarkan aturan yang melarang ekspor bahan mineral mentah (mineral ore) mulai 12 Januari 2014. Sebagian dunia usaha masih agak keberatan dengan batasan mineral yang harus dimurnikan sehingga bisa diekspor.

Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), dalam keterangan tertulis, mengatakan batasan minimum pemurnian yang ditetapkan pemerintah masih terlalu tinggi. Batasan minimum pemurnian dari bauksit menjadi alumina yaitu SGA 99 persen dan CGA 90 persen masih memerlukan waktu karena biayanya tidak murah.

“Pembangunan pabrik pemurnian bauksit menjadi alumina harus dalam skala yang besar agar ekononis dan efisien. Nilai investasi pabrik lebih dari US$ 500 juta dan lebih lebih dari US$ 1 miliar untuk kapasitas pabrik 2 juta ton alumina," papar Apermindo baru-baru ini.

Oleh karena itu, Apermindo menilai ekspor masih diperlukan sehingga dunia usaha bisa memperoleh dana untuk membangun fasilitas pemurnian. “Diharapkan pemerintah memperhatikan aspirasi pelaku usaha bauksit ini agar hilirisasi dapat berjalan dengan baik,” katanya.

Namun, ada pula pengusaha yang sudah siap dengan aturan ini dan mulai berencana membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter). Natsir Mansyur, Direktur Utama Indosmelt, mengungkapkan tahun ini akan ada beberapa smelter yang mulai dibangun.

Sejumlah smelter yang akan dibangun antara lain dua untuk bauksit, tiga untuk aluminium, dua untuk nikel, dan tiga untuk pasir besi. Pembangunan dimulai tahun ini dan bisa beroperasi selambat-lambatnya pada 2018.

"Investasi Indosmelt sekitar US$ 1,5 miliar tahun ini, dibangun di Sulawesi Selatan. Diperkirakan mampu menyerap 300 tenaga kerja langsung,” kata Natsir.

Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang melarang ekspor bahan mineral mentah (mineral ore) mulai 12 Januari 2014. Sebagian dunia usaha masih agak keberatan dengan batasan mineral yang harus dimurnikan sehingga bisa diekspor.

Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), dalam keterangan tertulis, mengatakan batasan minimum pemurnian yang ditetapkan pemerintah masih terlalu tinggi. Batasan minimum pemurnian dari bauksit menjadi alumina yaitu SGA 99 persen dan CGA 90 persen masih memerlukan waktu karena biayanya tidak murah.

“Pembangunan pabrik pemurnian bauksit menjadi alumina harus dalam skala yang besar agar ekononis dan efisien. Nilai investasi pabrik lebih dari US$ 500 juta dan lebih lebih dari US$ 1 miliar untuk kapasitas pabrik 2 juta ton alumina," papar Apermindo baru-baru ini.

Oleh karena itu, Apermindo menilai ekspor masih diperlukan sehingga dunia usaha bisa memperoleh dana untuk membangun fasilitas pemurnian. “Diharapkan pemerintah memperhatikan aspirasi pelaku usaha bauksit ini agar hilirisasi dapat berjalan dengan baik,” katanya.

Namun, ada pula pengusaha yang sudah siap dengan aturan ini dan mulai berencana membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter). Natsir Mansyur, Direktur Utama Indosmelt, mengungkapkan tahun ini akan ada beberapa smelter yang mulai dibangun.

Sejumlah smelter yang akan dibangun antara lain dua untuk bauksit, tiga untuk aluminium, dua untuk nikel, dan tiga untuk pasir besi. Pembangunan dimulai tahun ini dan bisa beroperasi selambat-lambatnya pada 2018.

"Investasi Indosmelt sekitar US$ 1,5 miliar tahun ini, dibangun di Sulawesi Selatan. Diperkirakan mampu menyerap 300 tenaga kerja langsung,” kata Natsir.

 Meski Dilarang Dampaknya Minimal 

Salah satu komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia adalah bahan mineral. Namun pemerintah kini telah melarang ekspor bahan mineral mentah (mineral ore). Kira-kira bagaimana nasib ekspor Indonesia?

Helmi Arman, ekonom Citi Research, menilai tidak ada dampak yang terlalu mengkhawatirkan. Memang ada perlambatan ekspor, tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap defisit pada transaksi berjalan. Per kuartal III 2013, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 8,4 miliar atau 3,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Dampak terhadap defisit transaksi berjalan kami perkirakan lebih rendah dari 0,3 persen PDB, mungkin sekitar 0,1 atau 0,2 persen PDB dalam skenario terburuk. Kami tetap memperkirakan defisit transaksi berjalan pada 2014 sebesar 2,8 persen PDB,” papar Helmi.

Dampak minim tersebut, lanjut Helmi, karena perusahaan-perusahaan tambang masih bisa mengekspor dalam bentuk konsentrat. “Nilai ekspornya masih cukup tinggi, terutama untuk nikel, bauksit, dan besi,” ujarnya.

Pada 2013, tambah Helmi, ekspor mineral ore Indonesia mencapai US$ 500 juta per bulan. Namun dalam jangka menengah-panjang, nilai ini bisa ditutupi oleh ekspor dari produk mineral yang sudah diolah, seiring mulai beroperasinya sejumlah smelter.

“Dampak positif lainnya adalah meski ekspor pasir besi mentah dilarang tetapi impor besi jadi bisa dikurangi karena sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Ini merupakan berita bagus untuk neraca perdagangan dan transaksi berjalan,” jelas Helmi.

Lalu bagaimana dampaknya terhadap nilai tukar rupiah? Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, mengatakan ada anggapan yang salah bahwa pelarangan ekspor mineral ore dapat melemahkan rupiah karena ekspor yang menurun.

“Ternyata rupiahnya menguat dengan cukup signifikan. Ini disambut oleh pasar sangat positif," ujar Bayu.

Pada awal pekan ini, nilai tukar rupiah berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) tercatat sebesar Rp 12.047 per dolar AS. Menguat dibandingkan akhir pekan lalu yaitu Rp12.197 per dolar AS.

 Tanah Indonesia Kaya Mineral 

Indonesia merupakan negeri yang kaya sumber daya alam, termasuk mineral. Sejumlah mineral berharga tertanam di bumi nusantara, yang sesuai amanat konstitusi harus digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kira-kira apa saja potensi mineral yang dimiliki Indonesia? Berikut adalah gambarannya per 2012 (dalam satuan ton).



  detik  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More