blog-indonesia.com

Jumat, 02 Oktober 2015

Relasi RI-Australia Setelah Abbott

Oleh: Ahmad Khoirul Umam Drama politik internal Partai Liberal di Australia, 14 September, lalu telah menghasilkan kepemimpinan baru di negeri itu.

Perdana Menteri Tony Abbott, yang popularitasnya menurun dalam setahun terakhir, akhirnya kalah dari politikus kawakan Malcolm Turnbull dalam perebutan kepemimpinan Partai Liberal Australia. Pola komunikasi Abbott yang cenderung kontroversial dalam merespons isu-isu nasional dan luar negeri berujung pada pengajuan mosi tak percaya dan mengantarkan kemenangan Malcolm Turnbull.

Perubahan kepemimpinan partai pemenang Pemilu 2013 itu otomatis mengubah pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan federal Australia. Suksesi yang berlangsung begitu cepat mengindikasikan betapa cair dinamika konstelasi dalam partai politik di Australia, di mana fluktuasi perekonomian nasional hampir selalu jadi pemantik.

Pelengseran Abbott sekaligus menggugurkan janji Partai Liberal menghadirkan stabilitas politik dan kepemimpinan nasional yang berbeda dari pemerintahan Partai Buruh sebelumnya yang tidak stabil di bawah kepemimpinan Kevin Rudd dan Julia Gillard. Australia memiliki lima perdana menteri dalam lima tahun terakhir.

 Relasi bilateral 
Coin 4 Australia [antaranews]

Pola dan karakter komunikasi PM Malcolm Turnbull tampaknya akan jadi pembeda dengan kepemimpinan Abbott. Dalam pernyataan publik pertama bersama Julie Bishop—yang kembali terpilih sebagai wakil ketua di Partai Liberal—Turnbull menekankan pentingnya mengajak, membujuk, dan justru bukan ”menguliahi” berbagai pihak untuk membangkitkan perekonomian Australia.

Ajakan Turnbull menjadi indikator positif bagi upaya perubahan pola komunikasi hubungan luar negeri Australia selanjutnya, khususnya relasi bilateral Indonesia-Australia.

Selama dua tahun di bawah kepemimpinan Abbott, hubungan Indonesia-Australia tegang dan tak produktif. Contoh sikap Abbott yang bikin panas, antara lain, keengganan meminta maaf atas tragedi penyadapan intelijen Australia terhadap Presiden Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhoyono, serta delapan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (2012); juga pernyataan tentang pembelian kapal Indonesia yang akan digunakan para imigran gelap menyeberang ke Australia (2013); dan dukungan terbuka atas kebijakan petugas perbatasan Australia menyuap para nakhoda kapal pengangkut imigran gelap untuk kembali ke perairan Indonesia (2015). Abbott juga mengaitkan bantuan tsunami Aceh dengan upaya keringanan hukuman bagi dua terpidana mati kasus Bali Nine (2015).

 Tetap terukur 
Karikatur penyadapan [google]

Kendati demikian, optimisme terhadap pemerintahan baru hendaknya terukur. Berdasarkan pengalaman, relasi bilateral kedua negara ketika Partai Liberal berkuasa acap membuat Indonesia menghadapi kendala.

Sebaliknya, kepemimpinan Partai Buruh sering dianggap lebih tulus dalam upaya meningkatkan hubungan luar negeri Australia dengan negara-negara Asia, khususnya Indonesia (Sulistiyanto, 2010; Kitley, Chauvel dan Reeve, 1989; Brown, 1996).

Meskipun demikian, asumsi tersebut kandas juga oleh fakta penyadapan intelijen Australia terhadap petinggi Indonesia, yang disinyalir telah terjadi sejak pemerintahan Kevin Rudd.

Terlepas dari perbedaan karakter politik luar negeri kedua partai, Australia di bawah kepemimpinan Turnbull sepatutnya berkomitmen lebih besar memperbaiki relasi Indonesia-Australia. Namun, upaya ini acap terkendala sikap saling curiga yang melahirkan pola hubungan "strange neighbors" atau tetangga yang asing (Ball dan Wilson, 1991; George & McGibbon, 1998; Philpott, 2001).

Hal itu tidak lepas dari berbagai peristiwa yang memang sulit dihapus dari memori kolektif masyarakat masing-masing negara. Citra negatif Indonesia terbangun sejak tragedi Balibo Five yang menewaskan sejumlah jurnalis Australia di Timor Timur (1975), diikuti peristiwa bom Bali (2001 dan 2002), bom di Kedutaan Australia di Jakarta (2004), kontroversi kasus Schapelle Corby, dan hukuman mati dua terpidana kasus Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (2015).

Sebaliknya, citra negatif Australia di mata masyarakat Indonesia dimulai sejak kebijakan intervensi pemerintahan John Howard yang memerdekakan Timor Leste (1999), pemberian suaka bagi warga Papua yang datang ke Australia (2006), hingga sikap-sikap sejumlah elemen politik di Australia yang berpotensi mengganggu kedaulatan NKRI, khususnya terkait Papua.

Pemerintahan Turnbull diharapkan dapat memberikan nuansa yang lebih sehat dan produktif bagi peningkatan hubungan kedua negara. Misalnya, dengan memberikan perhatian yang lebih serius dan elegan terhadap persoalan-persoalan sensitif, seperti perbaikan kesepahaman dalam kerja sama keamanan di wilayah perbatasan, dukungan terhadap penegakan hukum yang adil dan independen di Indonesia terkait warga negara Australia, dan komitmen positif terhadap isu-isu kedaulatan NKRI.

 Perbaiki komunikasi politik 
Ilustrasi sergap blackflight [TNI AU]

Dalam interaksi kepentingan kedua negara, Australia tidak selalu sepaham dengan Indonesia. Maka, dinamika akan terus terjadi seiring perbedaan kepentingan kedua pihak. Yang pasti, manuver-manuver strategis dalam interaksi politik luar negeri kedua negara hendaknya dilengkapi dengan perangkat dan kemampuan komunikasi yang lebih konstruktif agar tidak memantik api penyulut ketegangan.

Tanpa perubahan, kepemimpinan baru di Australia akan kesulitan melakukan constructive engagement dengan Pemerintah Indonesia. Terlebih lagi karakter pemerintahan Partai Liberal relatif sama dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dalam kebijakan politik luar negeri cenderung nasionalistik.

Bertemunya dua kutub pemerintahan yang bercorak nasionalistik perlu betul-betul diantisipasi sekaligus dijembatani dengan strategi komunikasi yang lebih baik untuk meningkatkan rasa saling menghormati dan menghargai di antara kedua negara. Hal ini dapat diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan strategis dalam kerangka kerja sama bilateral terkait pembangunan ekonomi serta keamanan yang berdampak langsung terhadap stabilitas politik di kawasan Asia Pasifik.

Ahmad Khoirul Umam
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies The University of Queensland, Australia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Relasi RI-Australia Setelah Abbott".

  Kompas  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More